Samudra Ilmu Agama Islam

Islam Rahmatan Lil 'Alamin

Archive for the ‘Tokoh-tokoh Islam’ Category

Imam As Suyuthi

Posted by Administrator pada 2 Desember 2008

Beliau –rahimahullah- bernama Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddien Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddien Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddien Muhammad bin asy-Syaich Hammamuddien al-Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam tahun sebelum bapaknya wafat.

Asal Usul Beliau –rahimahullah-

Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan cendekiawan sejak kecilnya. Bapaknya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an di usianya yang sangat dini dan selalu diikutkan bapaknya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya.

Dan bapaknya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapaknya melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits). Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan. Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian menghafal kitab al-‘Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H, yakni ketika berumur 15 tahun.

Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddien al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar-Raudhah. Belajar Faraidl dari syaikh Sihaabuddien Asy-Syaarmasaahi, dan mulazamah kepada asy-Syari al-Manaawi Abaaz Kuriya Yahya bin Muhammad, kakak dari Abdurrauf pensyarah al-Jami’ ash-Shaghir. Kemudian menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits kepada Taqiyuddien asy-Syamini al-Hanafi (872 H). Lalu mulazamah kepada syaikh Muhyiddien Muhammad bin Sulaiman ar-Ruumi al-Hanafi selama 14 tahun. Dari beliau ia menimba ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani. Juga berguru kepada Jalaaluddien al-Mahilli (864 H) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali. Dan membaca shahih Muslim, asy-Syifa, Alfiyah Ibnu malik dan penjelasaannya pada Syamsu as-Sairaami.

Imam Suyuthi tidak mau meninggalkan satu cabang ilmu pun kecuali ia berusaha untuk mempelajarinya, seperti ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin as-Sibaa’ dan Abudl Aziz al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim ad-Diwwani ar-Ruumi. Hal ini sesuai dan didukung oleh keadaan waktu itu di mana dia dapat menimba ilmu dari banyak syaikh. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, baik ilmu bahasa maupun ilmu dien, demikian pula ia tidak merasa cukup dengan para ulama yang telah ia temui.

Bahkan ia bepergian jauh sekedar untuk mencari ilmu dan riwayat hadits, hingga ke negeri Maghribi (Tanjung Harapan, sebelah ujuh barat pulau Afrika), ke Yaman, India, Syam Mahallah (di Mesir Barat), Diimath (sebuah kota di tepi sungai Nil, Mesir), dan Fayyum (Mesir) serta negeri-negeri Islam lainnya. Telah menunaikan ibadah Hajji dan telah minum air Zam-zam dengan harapan supaya dapat seperti Syaich al-Balqini dalam menguasi ilmu Fiqih serta dapat seperti Ibnu Hajar dalam menguasai ilmu Hadits.

Demikianlah imam yang mulia ini, mengadakan perjalanan yang tidak tanggung-tanggung dengan segala kesusahannya hanya untuk dapat menimba ilmu. Banyak sekali gurunya. Bahkan disebutkan oleh syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat bahwa gurunya lebih dari 600-an orang.

Sesuai dengan banyaknya syaikh dan jauhnya perjalanannya dalam menimba ilmu, hal itu didukung pula oleh kemampuannya untuk semaksimal mungkin dalam memanfaatkan perpustakaan Madrasah Mahmudiyah. Berkata al-Maqrizi, bahwa di dalam perpustakaan ini terdapat segala jenis kitab-kitab Islam, dan madrasah ini merupakan sebaik-baik madrasah yang ada, yang dinisbatkan kepada Mahmud bin al-Astadaar, yang berdirinya pada tahun 897 H. Dan kitab-kitab yang ada tersebut merupakan kitab yang paling lengkap dari yang ada sekarang di Qahirah (Cairo), yang merupakan koleksi dari Burhan Ibn Jama’ah dan kemudian dibeli oleh Mahmud al-Astadaar dengan uang warisannya setelah ia wafat dan kemudian ia waqafkan.

Hingga matanglah kepribadian Suyuthi, dan sempurnalah pembentukan ilmunya pada taraf syarat mampu untuk berijtihad. Beliau seorang yang mudah mengerti, kuat hafalannya, dianugerahi Allah dengan otak yang cerdas, disamping itu beliau adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud, tawadlu’. Tidak mau menerima hadiah raja. Pernah ia diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”

Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’ maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.” Beliau terlalu disibukkan dengan memberi pelajaran dan berfatwa sampai umur 40 tahun, kemudian beliau lebih mengkhususkan untuk beribadah dan mengarang kitab. Dan karangan imam Suyuthi rahimahullah lebih dari 500 buah karangan. Berkata imam Suyuthi, “Kalau seandainya aku mau maka aku mampu untuk menyusun kitab yang membahas setiap masalah dengan segala teori dan dalil-dalil yang kami nukil, qiyasnya, keterangannya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, muwazanahnya antara perselisihan berbagai madzhab tentang masalah itu, dengan fadhilah Allah, tidak dengan daya dan kemampuanku. Karena sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali dari Allah.”

Kitab-Kitab Karangan Imam Suyuthi

Adapun kitab-kitab yang disusun oleh imam Suyuthi rahimahullah antara lain sebagai berikut:

1. Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an

2. Ad-Durrul Mantsuur fit Tafsiril Ma’tsuur

3. Tarjumaan al-Qur’an fit Tafsir

4. Israaru at-Tanziil atau dinamakan pula dengan Qathful Azhaar fi Kasyfil Asraar

5. Lubaab an-Nuqul fi Asbaabi an-Nuzuul

6. Mifhamaat al-Aqraan fi Mubhamaat al-Qur’an

7. Al-Muhadzdzab fiima waqa’a fil Qur’an minal Mu’arrab

8. Al-Ikllil fi istimbaath at-Tanziil

9. Takmilatu Tafsiir asy-Sayich Jalaaluddien al-Mahilli

10. At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir

11. Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi

12. Tanaasuq ad-Duraru fi Tanaasub as-Suwari

13. Maraashid al-Mathaali fi Tanaasub al-Maqaathi’ wal Mathaali’

14. Majma’u al-Bahrain wa Mathaali’u al-Badrain fi at-Tafsir.

15. Mafaatihu al Ghaib fi at-Tafsiir

16. Al-Azhaar al-Faaihah ‘alal Fatihah

17. Syarh al-Isti’adzah wal Kasmalah

18. Al-Kalaam ‘ala Awalil Fathi

19. Syarh asy-Syathibiyah

20. Al-Alfiyah fil Qara’at al ‘asyri

21. Khimaayal az-Zuhri fi Fadla’il as-Suwari

22. Fathul Jalil li ‘Abdi Adz Dzalil fil Anwa’il Badi’ah al- Mustakhrijah min Qaulihi Ta’ala: Allaahu Waliyyulladziina aamanu

23. al-Qaul al-Fashih Fi Ta’yiini adz-Dzabiih

24. al-Yadul Bustha fi as-Shalaatil Wustha

25. Mu’tarakul Aqraan Fi musykilaatil Qur’an

Semua itu judul-judul buku yang berkenaan dengan Tafsir, adapun yang berkenaan dengan ilmu hadits, antara lain adalah sebagai berikut:

  1. ‘Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah
  2. Durru ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah
  3. Husnul Muhaadlarah
  4. Riihu an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin
  5. Is’aaful Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’
  6. Kasyfu at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis
  7. Taqriibul Ghariib
  8. al-Madraj Ila al-Mudraj
  9. Tadzkirah al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy
  10. Asmaa`ul Mudallisiin
  11. al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’
  12. ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi al-mushthalah

Dan masih banyak lagi yang lainnya

Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H seperti yang disebutkan oleh Sya’rani dalam kitab Dzail Thabaqat-nya. Sebelumnya beliau menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun 10 bulan 18 hari. Dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun, di luar pintu gerbang Qarafah, atau yang terkenal dengan sebutan Bawwaabah as-Sayyidah ‘Aisyah (Pintu gerbang Sayyidah ‘Aisyah) di Cairo.

Rujukan:
Tadriib ar-Raawi Fi Syarh Taqriib an-Nawawy karya as-Suyuthy, yang ditahqiq oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab Abdullathif, Dar an-Nasyr al-Kutub al-Islamiyyah, Lahore, Pakistan, dan tahqiq DR. Ahmad Umar Hasyim, penerbit Daarul Kitab al-‘Araby, Beirut, Lebanon

(Tokoh ini diambil dari majalah as-Sunnah, edisi 06/1/1414-1993, ditulis/diterjemahkan oleh Hawari, dengan sedikit perubahan dari redaksi)

Posted in Tokoh-tokoh Islam | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »

Imam Al Bukhari

Posted by Administrator pada 2 Desember 2008

Muhammad Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya terilham/menghafal hadits ketika masih dalam asuhan belajar.” Lalu saya bertanya, “Umur berapakah anda pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang.” (Riwayat al-Farbari dari Muhammad Ibnu Abi Hatim, seorang juru tulis al-Imam al-Bukhari).

Suatu ketika al-Imam al-Bukhari tiba di Baghdad. Kehadiran beliau didengar oleh para ahlul hadits negeri itu. Maka, berkumpullah mereka untuk menguji kehebatan hafalan beliau tentang hadits.

Syahdan para ulama tersebut sengaja mengumpulkan seratus buah hadits. Susunan, urutan dan letak matan serta sanad seratus hadits tersebut sengaja dibolak-balik. Matan dari sebuah sanad diletakkan untuk sanad lain, sementara suatu sanad dari sebuah matan diletakkan untuk matan lain dan begitulah seterusnya. Seratus buah hadits itu dibagikan kepada sepuluh orang tim penguji, hingga masing-masing mendapat bagian sepuluh buah hadits.

Maka tibalah ketetapan hari yang telah disepakati. Berbondong-bondonglah para ulama dan tim penguji itu, serta para ulama dari Khurasan dan negeri-negeri lain serta penduduk Baghdad menuju tempat yang telah ditentukan.

Ketika suasana majlis telah menjadi tenang, salah seorang dari kesepuluh tim penguji mulai memberikan ujiannya. Beliau membacakan sebuah hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya kepada al-Imam al-Bukhari. Ketika ditanyakan kepada beliau, al Imam al-Bukhari menjawab, “Saya tidak kenal hadits itu.” Demikian seterusnya satu persatu dari kesepuluh hadits penguji pertama itu dibacakan, dan al-Imam al-Bukhari selalu menjawab, “Saya tidak kenal hadits itu.”

Beberapa ulama yang hadir saling berpandangan seraya bergumam, “Orang ini berarti faham.” Akan tetapi ada di kalangan mereka yang tidak mengerti, hingga menyimpulkan bahwa al-Imam al-Bukhari terbatas pengetahuannya dan lemah hafalannya.

Orang kedua maju. Beliau juga melontarkan sebuah hadits yang telah dibolak-balik sanad dan matannya, yang kemudian dijawab pula, “Saya tidak kenal hadits itu”. Begitulah, orang kedua ini pun membacakan sepuluh hadits yang menjadi bagiannya, dan seluruhnya dijawab beliau, “Saya tidak kenal hadist itu.”
Begitulah selanjutnya orang ketiga, keempat, kelima hingga sampai orang kesepuluh, semuanya membawakan masing-masing sepuluh hadits yang telah dibolak-balik matan dan sanadnya. Dan al-Imam al-Bukhari memberikan jawaban tidak lebih daripada kata-kata, “Saya tidak kenal hadits itu.”

Setelah semuanya selesai menguji, beliau kemudian menghadap orang pertama seraya berkata, “Hadits yang pertama anda katakan begini, padahal yang benar adalah begini, lalu hadits anda yang kedua anda katakan begini padahal yang benar seperti ini. Begitulah seterusnya hingga hadits kesepuluh disebutkan oleh beliau kesalahan letak sanad serta matannya, dan kemudian dibetulkannya kesalahan itu hingga semua sanad dan matannya menjadi benar kedudukannya.

Demikian pula seterusnya yang dilakukan oleh al-Bukhari kepada para penguji berikutnya hingga sampai kepada penguji kesepuluh. Maka, orang-orang pun lantas mengakui serta menyatakan kehebatan hafalan serta kelebihan beliau. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Yang hebat bukanlah kemampuan al-Bukhari dalam mengembalikan kedudukan hadits-hadits yang salah, sebab beliau memang hafal, tetapi yang hebat justru hafalnya beliau terhadap kesalahan yang dilakukan oleh para penguji tersebut secara berurutan satu persatu hanya dengan sekali mendengar.”

Siapakah al-Imam al-Bukhari

Beliau adalah Abu Abdillah, bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi. Kakek moyang Bardizbah (begitulah cara pengucapannya menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani) adalah orang asli Persia. Bardizbah, menurut penduduk Bukhara berarti petani. Sedangkan kakek buyutnya, al-Mughirah bin Bardizbah, masuk Islaam di tangan al-Yaman al-Ja’fi ketika beliau datang di Bukhara. Selanjutnya nama al-Mughirah dinisbatkan (disandarkan) kepada al-Ja’fi sebagai tanda wala’ kepadanya, yakni dalam rangka mempraktekkan pendapat yang mengatakan, bahwa seseorang yang masuk Islam, maka wala’nya kepada orang yang mengislamkannya.

Adapun mengenai kakeknya, Ibrahim bin al-Mughirah, Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengatakan, “Kami tidak mengetahui (menemukan) sedikit pun tentang kabar beritanya.” Sedangkan tentang ayahnya, Ismail bin Ibrahim, Ibnu Hibban telah menuliskan tarjamah (biografi)-nya dalam kitabnya ats-Tsiqat (orang-orang yang tsiqah/terpercaya) dan beliau mengatakan, “Ismail bin Ibrahim, ayahnya al-Bukhari, mengambil riwayat (hadits) dari Hammad bin Zaid dan Malik. Dan riwayat Ismail diambil oleh ulama-ulama Irak.” Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga telah menyebutkan riwayat hidup ismail ini di dalam Tahdzibut Tahdzib. Ismail bin Ibrahim wafat ketika Muhammad (al-Bukhari) masih kecil.

Kelahiran Dan Wafatnya

Dilahirkan di Bukhara, sesudah shalat Jum’at pada tanggal 13 Syawal 194 H. Beliau dibesarkan dalam suasana rumah tangga yang ilmiah, tenang, suci dan bersih dari barang-barang haram. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim, ketika wafat seperti yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Hatim, juru tulis al-Bukhari, bahwa aku pernah mendengar Muhammad bin Kharasy mengatakan, “Aku mendengar bahwa Ahid Hafs berkata, “Aku masuk menjenguk Ismail, bapaknya Abu Abdillah (al-Bukhari) ketika beliau menjelang wafat, beliau berkata, “Aku tidak mengenal dari hartaku barang satu dirham pun yang haram dan tidak pula satu dirham pun yang sybhat.”

Beliau dilahirkan dalam keadaan buta, berkat do’a ibunya beliau disembuhkan oleh Allah sehingga dapat meliat seperti manusia biasa. Lihat kisahnya di : https://imamuna.wordpress.com/2008/11/26/matanya-bisa-melihat-kembali-berkat-doa-ibunya/

Al-Bukhari wafat di Khartank sebuah desa di negeri Samarkhand, malam Sabtu sesudah shalat Isya’, bertepatan dengan malam Iedul fitri, tahun 256 H dan dikuburkan pada hari Iedul Fitri sesudah shalat Zhuhur. Beliau wafat dalam usia 62 tahun kurang 13 hari dengan meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah.

Pertumbuhan Dan Perkembangannya

Ketika ayahnya wafat, beliau masih kecil, sehingga beliau besar dan dibesarkan dalam asuhan ibunya. Beliau mencari ilmu ketika masih kecil dan pernah menceritakan tentang dirinya seperti disebutkan oleh al-Farbari dari Muhammad bin Abi Hatim. Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Aku pernah mendengar al-Bukhari mengatakan, “Aku diilhami untuk menghafal hadits ketika masih dalam asuhan mencari ilmu.” Lalu aku bertanya, “Berapa umur anda pada waktu itu?” Beliau menjawab, “Sepuluh tahun atau kurang… dan seterusnya hingga perkataan beliau, “Ketika aku menginjak umur enam belas tahun, aku telah hafal kitab-kitab karya Ibnul Mubarak dan Wakil. Dan aku pun tahu pernyataan mereka tentang Ash-hab (Ahlu) ra’yu”. Beliau berkata lagi, “Kemudian aku berangkat haji bersama ibuku dan saudaraku, setelah menginjak usia delapan belas tahun, aku telah menyusun kitab tentang sahabat dan tabi’in. Kemudian menyusun kitab tarikh di Madinah di samping kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika malam terang bulan.” Beliau melanjutkan perkataannya, “Dan setiap kali ada nama dalam at-Tarikh tersebut, pasti aku mempunyai kisah tersendiri tentangnya, tetapi aku tidak menyukai jika kitabku terlalu panjang.”

Semenjak kecil beliau sibuk menggali ilmu dan mendengarkan hadits dari berbagai negeri, seperti di negerinya sendiri. Dan beliau telah beberapa kali mengunjungi Baghdad, hingga penduduk di sana mengakui kelebihannya dan penguasaannya terhadap ilmu riwayah dan dirayah.

Begitulah, singkatnya beliau telah mengunjungi berbagai kota di Irak dalam rangka mencari ilmu hadits dari tokoh-tokoh negeri tersebut, misalnya Bashrah, Balkh, Kufah dan lain-lain. Beliau telah mendengarkan dan menggali hadits dari sejumlah banyak tokoh pembawa hadits. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Hatim, bahwasanya beliau berkata, “Aku tidak pernah menulis melainkan dari orang-orang yang mengatakan bahwa al-Iman adalah ucapan dan tindakan.”

Jumlah Hadits Yang Dihafal

Muhammad bin Hamdawaih mengatakan, “Aku mendengar al-Bukhari berkata, bahwa aku hafal seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits tidak shahih.”

Kitab-Kitab Yang Disusun

Yang paling pokok adalah kitab al-Jamiush shahih (Shahihul Bukhari) yaitu kitab hadits tershahih diantara kitab hadits lainnya. Selain itu beliau menyusun juga ktiab al-Adabul Mufrad, Raf’ul Yadain fish Shalah, al-Qira’ah khalfal Iman, Birrul Walidain, at-Tarikh ash-Shagir, Khalqu Af’aalil ‘Ibaad, adl-Dlu’afa (hadits-hadits lemah), al-Jaami’ al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, at-Tafsir al-Kabir, Kitabul Asyribah, Kitabul Hibab, Asaami ash-Shahabah (Nama-nama para shahabat) dan lain sebagainya.

Contoh Kekaguman Orang Terhadap Al-Bukhari

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah, merupakan barometer bagi guru-gurunya dan manusia yang tahu dan hidup pada zamannya maupun sesudahnya. al-Imam al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah menyebutkan secara khusus tentang pujian dan jasa-jasa beliau dalam kitabnya masing-masing. Adz-Dzahabi dalam Tadzkiratul huffaazh dan Ibnu Hajar dalam Tahdzibut Tahdzib.

Berikut ini beberapa contoh pujian dan kekaguman mereka. Muhammad bin Abi Hatim mengatakan, bahwa aku mendengar Yahya bin Ja’far al-Baikundi berkata, “Seandainya aku mampu menambahkan umur Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) dengan umurku, niscaya aku lakukan sebab kematianku hanyalah kematian seorang sedangkan kematiannya berarti lenyapnya ilmu.”

Raja’ bin Raja’ mengatakan, “Dia, yakni al-Bukhari, merupakan satu ayat di antara ayat-ayat Allah yang berjalan di atas permukaan bumi.”

Abu Abdullah al-Hakim dalam Tarikh Naisabur berkata, “Dia adalah Imam Ahlul hadits, tidak ada seorang pun di antara Ahlul Naql yang mengingkarinya.”

Shahihul Jami’ Atau Shahih Bukhari

Seluruh hadits yang termuat di dalamnya adalah hadits-hadits shahih yang telah tetap dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan semua Mu’allaqaat dalam Shahih al-Bukhari dinyatakan shahih oleh para ulama Ahlul hadits. Adapun contoh pernyataan ulama tentang Shahih al-Bukhari seperti dikatakan al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah wan Nihaayah, “Para ulama telah bersepakat menerimanya (yakni Shahihul Bukhari) dan menerima keshahihan apa-apa yang ada di dalamnya, demikian pula seluruh ahlul Islam.”

Jadi di samping Shahih Muslim, Shahih al-Bukhari adalah kitab tershahih nomor dua setelah al-Qur’an sebagaimana disebutkan dan disepakati oleh para ulama, di antaranya oleh as-Subakti.

Terusirnya Imam Al-Bukhari Dari Bukhara

Ghonjar mengatakan dalam kitab Tarikhnya, “Aku mendengar Ahmad bin Muhammad bin Umar berkata, “Aku mendengar Bakar bin Munir mengatakan, “Amir Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhail, amir penguasa Bukhara, mengirim utusan kepada Muhammad bin Ismail, yang isinya, “Bawalah padaku kitab Jaami’ush Shahih dan at-Tarikh supaya aku bisa mendengar dari kamu.” Maka, berkatalah al-Bukhari kepada utusan tersebut, “Katakanlah kepadanya bahwa sesungguhnya aku tidak akan merendahkan ilmu dan aku tidak akan membawa ilmuku itu ke hadapan pintu para sultan. Apabila dia butuh (jika ilmu itu dikehendaki), maka hendaknya dia datang kepadaku di masjidku atau di rumahku. Kalau hal ini tidak menyenangkan wahai sultan, maka laranglah aku untuk mengadakan majlis ilmu, supaya pada hari kiamat aku punya alasan di hadapan Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu.” Ghonjar mengatakan, “Inilah yang menyebabkan terjadinya krisis di antara keduanya.”

Al-Hakim berkata, “Aku mendengar Muhammad bin al-‘Abbas adh-Dhobby mengatakan, “Aku mendengar Abu Bakar bin Abu Amr berkata, “Perginya Abu Abdillah al-Bukhari dari negeri Bukhara disebabkan Khalid bin Ahmad Khalifah bin Thahir meminta beliau untuk hadir di rumahnya supaya membacakan kitab at-Tarikh dan al-Jaami’ush Shahih kepada anak-anaknya, tapi beliau menolak. Beliau katakan, “Aku tidak mempunyai waktu jika hanya orang-orang khusus yang mendengarkannya (mendengarkan ilmuku, pen). Maka Khalid bin Ahmad meminta tolong kepada Harits bin Abi al-Warqa` dan lainnya dari penduduk Bukhara untuk bicara mempermasalahkan madzhabnya. Akhirnya Khalid bin Ahmad mengusir beliau dari Bukhara.

Demikianlah sekelumit tentang Imam Bukhari, beliau juga pernah difitnah sebagai orang yang mengatakan, bahwa bacaanku terhadap al-Qur’an adalah makhluk. Padahal beliau tidak mengatakan demikian dan bahkan secara tegas beliau membantah bahwa orang yang membawa berita tersebut adalah pendusta. Beliau bahkan mengatakan, “Bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk, sedangkan perbuatan-perbuatan hamba adalah makhluk.” (lihat Hadyu as-Sari Muqadimah Fathul Bari bagian akhir halaman 490-491). Wallahu a’lam.

Posted in Tokoh-tokoh Islam | Dengan kaitkata: , , , | 1 Comment »

IMAM ASY-SYAFI’I

Posted by Administrator pada 2 Desember 2008

Pemilik Manhaj Fiqih Yang Memadukan Antara Dua Madzhab Pendahulunya

Nama Dan Nasabnya

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga.

Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih muda.

Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Gelarnya

Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as- Sunnah.

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.

Tempat Kelahirannya

Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.

Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke ‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”

Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di ‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya yang mulia itu lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu

Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.

Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.

Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.

Semula beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum.

Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.

Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu

Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.

Kapasitas keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.

Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.

Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’ atasnya.

Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad belajar dengannya.

Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.

Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian meninggalkannya menuju Mesir.

Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.

Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya

Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.

Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits). Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.

Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas. Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.

Saat imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.

Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.

Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.

Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).

Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.

Setelah merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan Imam Abu Hanifah.

Aqidahnya

Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).

Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.

Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.

Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])

Sya’ir-Sya’irnya

Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Imam Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”

Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.

Di antara contohnya,

Sya’ir Zuhud

Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai

Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari

Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki

Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut

Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan

Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang

Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan

Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?

Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit

Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?

Sya’ir Akhaq

Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun

Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan

Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya

Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut

Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya

Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku

Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka

Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang

Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya

Imam asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.

Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.”

Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”

Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”

Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an.

Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”

Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”

Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan keselamatan.

Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.

Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.

Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan

Untuk lebih mendalami sejarah hidup Imam Syafi’i harap merujuk kepada kitab-kitab berikut ini :

asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam

I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais

Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah

Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais

Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab

Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)

Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i

Posted in Tokoh-tokoh Islam | Dengan kaitkata: , , , | Leave a Comment »

SAID IBN AL-MUSAYYIB

Posted by Administrator pada 1 Desember 2008

Sosok Ulama Langka; Takut Fitnah, Lamaran Khalifah Ditolaknya

“Said Ibn al-Musayyib sudah berfatwa saat para sahabat masih hidup” (Ahli Sejarah)

Amirul Mukminin Abdul Malik ibn Marwan bertekad untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan berziarah ke al-Haram an-Nabawy serta untuk menyampaikan salam kepada Rasulullah SAW.

Ketika bulan Dzul Qa’dah datang, khalifah yang agung tersebut menyiapkan untanya untuk perjalanan menuju tanah Hijaz dengan ditemani oleh para petinggi kalangan umara Bani Umayyah dan para pejabat teras negaranya serta beberapa orang putranya.

Rombongan berangkat dari Damaskus menuju Madinah Munawwarah dengan tidak terlalu pelan dan tidak pula tergesa-gesa.

Setiap kali singgah di suatu tempat, mereka mendirikan tenda, menggelar permadani dan mengadakan majlis-majlis ilmu dan penyampaian nasehat untuk memperdalam agama mereka dan mengikat hati dan jiwa mereka dengan hikmah dan Mau’izhah Hasanah.

Tatkala khalifah sampai di Madinah Munawwarah, beliau mengimami Masjid Nabawi dan memberikan penghormatan dengan menyampaikan salam kepada penghuninya, Nabi Muhammad –shalawat yang paling afdlol dan salam yang paling suci semoga tercurahkan kepadanya- serta berbahagia dengan mengerjakan shalat di Raudlah yang suci lagi mulia. Beliau merasakan kesejukan hati dan keselamatan jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya.

Beliau juga bertekad untuk tinggal dalam waktu yang lama di kota Rasul SAW selama ada jalan untuk itu.

Di antara hal yang sangat menarik perhatiannya di Madinah Munawwarah adalah adanya halaqoh-halaqoh ilmu yang memakmurkan masjid nabawi yang mulia.

Di masjid itu para ulama yang langka dari para pembesar tabi’in berkumpul sebagaimana kumpulan (gugusan) bintang-bintang yang bersinar di jantung langit.

Ada halaqoh yang dipimpin ‘Urwah ibn az-Zubair…
Ada halaqah yang dipimpin Said ibn al-Musayyib…
Dan ada halaqah yang dipimpin Abdullah ibn ‘Utbah… (salah seorang kibar tabi’in)

Pada suatu hari, khalifah terbangun dari Qailulah (tidur di waktu dhuha atau siang hari) di waktu yang beliau tidak terbiasa terbangun padanya. Ia lantas memanggil penjaganya dan berkata, “Wahai Maesaroh.”

“Aku penuhi panggilanmu, wahai Amirul Mukminin” jawab Maesaroh.

Ia berkata, “Pergilah ke masjid Rasul SAW dan undanglah salah seorang ulama untukku agar ia memberikan petuahnya kepada kita….”

Maesaroh pergi menuju masjid nabawi yang mulia. Ia menerawangkan pandangannya namun tidak melihat kecuali hanya satu halaqoh ilmu saja, di tengah-tengahnya ada seorang syaikh yang berumur lebih dari sembilan puluh tahun. Padanya terpancar wajah ulama, wibawa dan ketenangan ulama…

Maesaroh berdiri tidak jauh dari halaqoh, kemudian ia menunjuk (memberi isyarat) ke arah syaikh dengan jarinya. Namun, syaikh tidak menoleh dan tidak memperdulikannya.

Maesaroh mendekat kepadanya seraya berkata, “Tidakkah kamu melihat bahwa aku menunjuk ke arahmu?.”
“Kepadaku?!” jawab syaikh.
“Ya” kata Maesaroh.
“(Lalu) apa hajatmu?” tanya syaikh.

Maesaroh menjawab, “Amirul Mukminin terbangun dari tidurnya dan berkata, “Pergilah ke masjid dan carilah seseorang dari para penceramahku dan bawalah kepadaku.”

“Aku tidak termasuk penceramahnya,” jawab syaikh
“Akan tetapi ia menginginkan seorang penceramah yang bisa menceramahinya,” kata Maesaroh

Syaikh menjawab, “Sesungguhnya orang yang menginginkan sesuatu maka ia akan mendatanginya…dan sesungguhnya halaqoh masjid ini masih lapang (luas) bila ia menginginkannya. Ceramah itu hendaklah didatangi, bukan mendatangi….” Baca entri selengkapnya »

Posted in Tokoh-tokoh Islam | Leave a Comment »

Abdullah Bin Al-Mubarak

Posted by Administrator pada 1 Desember 2008

Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi lahir pada tahun 118 H/736 M. Ayahnya seorang Turki dan ibunya seorang Persia. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang zahid termasyhur. Abdullah bin Mubarak telah belajar di bawah bimbingan beberapa orang guru, baik yang berada di Merv maupun di tempat-tempat lainnya, dan ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada tahun 181 H/797 M. Banyak karya-karyanya mengenai Hadits, salah satu di antaranya dengan tema “Zuhud masih dapat kita jumpai hingga waktu sekarang ini.”

Pertaubatan Abdullah bin Mubarak

Abdullah bin Mubarak sedemikian tergila-gila kepada seorang gadis dan membuat ia terus-menerus dalam kegundahan. Suatu malam di musim dingin ia berdiri di bawah jendela kamar kekasihnya sampai pagi hari hanya karena ingin melihat kekasihnya itu walau untuk sekilas saja. Salju turun sepanjang malam itu. Ketika adzan Shubuh terdengar, ia masih mengira bahwa itu adalah adzan untuk shalat ‘Isya. Sewaktu fajar menyingsing, barulah ia sadar betapa ia sedemikian terlena dalam merindukan kekasihnya itu. “Wahai putera Mubarak yang tak tahu malu!”. Katanya kepada dirinya sendiri. “Di malam yang indah seperti ini engkau dapat tegak terpaku sampai pagi hari karena hasrat pribadimu. tetapi apabila seorang imam shalat membaca surah yang panjang engkau menjadi sangat gelisah.”

Sejak saat itu hatinya sangat gundah. Kemudian ia bertaubat dan menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah. Sedemikian sempurna kebaktiannya kepada Allah sehingga pada suatu hari ketika ibunya memasuki taman, ia lihat anaknya tertidur di bawah rumpun mawar sementara seekor ular dengan bunga narkisus di mulutnya mengusir lalat yang hendak mengusiknya.

Setelah bertaubat itu Abdullah bin Mubarak meninggalkan kota Merv untuk beberapa lama menetap di Baghdad. Di kota inilah ia bergaul dengan tokoh-tokoh sufi. Dari Baghdad ia pergi ke Mekkah kemudian ke Merv. Penduduk Merv menyambut kedatangannya dengan hangat. Mereka kemudian mengorganisir kelas-kelas dan kelompok-kelompok studi. Pada masa itu sebagian penduduk beraliran Sunnah sedang sebagiannya lagi beraliran fiqh. Itulah sebabnya mengapa Abdullah disebut sebagai toko yang dapat diterima oleh kedua aliran itu. Ia mempunyai hubungan baik dengan kedua aliran tersebut dan masing-masing aliran itu mengakuinya sebagai anggota sendiri. Di kota Merv, Abdullah mendirikan dua buah sekolah tinggi, yang satu untuk golongan Sunnah dan satu lagi untuk golongan Fiqh. Kemudian ia berangkat ke Hijaz dan untuk kedua kalinya menetap di Mekkah. Baca entri selengkapnya »

Posted in Tokoh-tokoh Islam | Leave a Comment »