Samudra Ilmu Agama Islam

Islam Rahmatan Lil 'Alamin

JUAL BELI DENGAN DUA HARGA = RIBA ?

Posted by Administrator pada 17 Februari 2009

Melanjutkan pertanyaan kedua dari saudara Noven, yaitu :

Bagaimana hukumnya jika kita menjual barang dengan harga yang berbeda antara pembelian tunai dg kridit, misal saya jual hp,dan saya tawarkan ke orang jika cash harganya 500 ribu, tetapi jika secara kridit harganya 600 ribu, haramkah cara demikian ? karena ada yang menganggap itu termasuk riba fudhori,apa benar ?

 

Jawab :

Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kepaa semua pengikut sunnah-sunnahnya sampai akhir zaman.

Sebelumnya sekedar membetulkan bahwa yang benar adalah istilah ribal fadhl (ربا الفضل), yaitu riba karena adanya kelebihan antara barang yang satu dengan barang yang lain. Apakah dalam pengurangan juga termasuk kategori riba ?. Nanti insya Allah akan saya singgung sedikit. Ingat ya, bukan riba fudhori. Ini istilah yang keliru.

Jual beli dengan dua harga dalam istilah fiqih dikenal dengan istilah bai’ataini fi bai’ah. Jual beli jenis ini dilarang oleh agama. Ini disebutkan di dalam banyak hadits. Contohnya adalah hadits-hadits berikut ini :

 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dalam satu transaksi.(HR Turmudzi, V, 137, no. 1276). Turmudzi berkata : “Hadits ini Hasan Shahih”. Al Al Bani, muhaqqiq kitab ini berkata : “Hadits ini shahih”.

 

عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُحِلْتَ عَلَى مَلِىءٍ فَاتْبَعْهُ وَلاَ تَبِعْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ ».

Diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Penunda-nundaan membayar hutang yang dilakukan oleh orang yan kaya (orang yang memiliki harta untuk membayar hutangnya) adalah kedzaliman. Dan jika hutangmu dialihkan kepada orang yang kaya, maka terimalah, dan janganlah kamu melakukan dua jual beli dalam satu transaksi”. (HR Turmudzi, V/267, no. 1357).

Dan masih banyak hadits-hadits yang lain yang akan sangat panjang jika saya sebutkan satu per satu.

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah itu dengan tegas melarang dua jual beli dalam satu transaksi. Dan hadits yang kedua menambahkan dua buah hukum yang lain, yaitu :

  1. larangan menunda pembayaran hutang, jika sudah ada harta yang cukup untuk membayarnya. Ini adalah kedzaliman dan kedzliman adalah haram dilakukan oleh seorang muslim.
  2. perintah untuk menerima hiwalah (pengalihan hutang), dengan syarat orang kedua  dimana hutang itu dialihkan kepadanya adalah orang yang kaya, dalam pengertian dia memiliki harta yang cukup untuk membayar hutang kepada orang pertama. Perintah ini bersifat irsyadi (petunjuk) dan makna yang dikandungnya adalah sunnah.

Dari sini, banyak orang yang menyatakan bahwa jika kita menjual hp 500 ribu dengan cash dan 600 ribu dengan cicilan, maka itu adalah dilarang da masuk ke dalam hadits ini. Bahkan ada pendapat yang lebih keras lagi yang mengatakan bahwa seluruh jual beli dengan cara dicicil adalah termasuk riba, dilarang dan haram. Karena adanya perbedaan nilai mata uang dari hari ke hari dan hakekat riba adalah adanya selisih nilai dari dua harta benda yang ditukarkan (dijual belikan).

Tetapi kalau kita mau merenung sejenak dan meneliti lebih dalam maksud dari dua hadits di atas, maka kita akan menemukan penjelasan yang tidak demikian. Misalnya Imam Turmudzi sendiri sebagai perawi hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dua jual beli dengan satu transaksi ini adalah misalnya si penjual mengatakan : “Saya menjual baju ini kepadamu dengan harga sepuluh dirham cash atau dengan dua puluh dirham dengan kredit”. Kemudian masing-masing penjual dan pembeli berpisah dengan tanpa mempertegas harga mana yang disepakati.

Inilah model transaksi yang dilarang oleh agama dan yang dimaksud oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Karena maing-masing keduanya berpisah dalam keadaan tidak mengetahui harga mana yang disepakati. Ini rentan terhadap adanya konflik di kemudian hari dan mengakibatkan prinsip ‘an taradhin” (suka sama suka) dalam jual beli menjadi semakin jauh, bahkan haram dan termasuk kategori riba yang dilarang itu.

Selanjutnya Imam Turmudzi melanjutkan bahwa jika masing-masing berpisah dengan kesepakatan terhadap salah satu harga dari keduanya, maka tidak apa-apa (boleh), dengan syarat harga yang disepakati adalah salah satu dari kedua harga yang ditawarkan itu, bukan harga yang lainnya.

Selanjutnya beliau menukil perkataan guru besar beliau, yaitu Imam Syafi’I yang mengatakan bahwa diantara bentuk dua jual beli dalam satu transaksi adalah jika seseorang berkata : “Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian, dengan syarat kamu menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika penjualan rumahku kepadamu sudah ok, maka otomatis penjualan budakmu kepadaku juga ok”.

Model jual beli ini sama dengan model pernikahan pada masa jahiliyah dimana mereka berkata : “Saya nikahkan kamu dengan anakku dengan syarat kamu mau menikahkan saudaramu denganku”. Kemudian kedua pernikahan itu langsung dengan hanya jika pihak yang dilamar menyepakati syarat itu. Pernikahan dilangsungkan dengan tanpa mahar.

Kemudian Islam datanglah dengan ajaran yang lebih baik dan meluruskan model pernikahan yang seperti itu. Yaitu dengan cara masing-masing pernikahan adalah berdiri sendiri, tanpa ada kaitan antara yang pertama dengan yang kedua. Jadi pihak yang pertama harus melamar kepada pihak yang kedua, kemudian menyepakati pernikahan, membayar mahar dan memenuhi semua hal yang harus dipenuhi dalam pernikahan. Kemudian pihak yang kedua juga harus melamar, membayar mahar dan melakukan semua hal yang harus dipenuhi dalam pernikahan. Masing-masing adalah akad yang terpisah. Ini model yang dibenarkan.

Adapun terhadap jual beli rumah dan budak tadi, juga harus dilakukan dengan seperti pernikahan itu. Masing-masing adalah transaksi yang berbeda. Pemilik rumah menjual rumahnya dengan harga yang jelas, dan pemilik budak menjual budaknya dengan harga yang jelas pula. Tidak otomastis transaksi menjadi sempurna hanya karena pihak pertama menyetujui jual beli yang ada. Tapi masing-masing jual beli harus terpisah dengan akad yang terpisah pula.

Boleh jadi seseorang mengatakan bahwa yang demikian ini adalah model penafsiran ala Imam Turmudzi. Benarkah demikian ?

Tidak, karena  ternyata penafsiran yang seperti ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

 

عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِى صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ. قَالَ أَسْوَدُ قَالَ شَرِيكٌ قَالَ سِمَاكٌ الرَّجُلُ يَبِيعُ الْبَيْعَ فَيَقُولُ هُوَ بِنَسَاءٍ بِكَذَا وَكَذَا وَهُوَ بِنَقْدٍ بِكَذَا وَكَذَا

 

Diriwayatan dari Simak dari Abdurrhamn bin Abdullah bin Mas’ud dari bapaknya bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jual beli dan satu transaksi”. Aswad berkata : “Syarik berkata : “Simak berkata : “Yaitu seorang laki-laki yang melakukan transaksi jual beli, kemudian dia berkata : “dengan dihutang sekian dan dengan cash sekian”.

Nah, dengan demikian jelaslah bahwa jika kita menjual hp cash dengan harga 500 ribu dan dengan kredit 600 ribu, maka :

  1. jika masing-masing penjual dan pembeli kemudian menyepakati salah satu dari kedua harga itu, maka jual belinya adalah sah.
  2. jika keduanya berpisah dalam keadaan tidak menentukan salah satu harga dari keduanya, maka jual belinya adalah haram, termasuk riba yang diharamkan.

Jika jual beli model ini diharmkan, maka saya tidak bisa membayangkan kapan para pegawai rendahan seperti saya misalnya, akan dapat memiliki rumah, sepeda motor dan lain-lain. Bukankah semuanya dijual belikan dengan metode seperti ini ?.

Jika saja ada orang yang mengatakan bahwa kan dalam Islam ada hutang pituang yang bersih dari riba !!!. Maka jawabannya mungkinkah di masa sekarang ini ada orang yang mau menghutangkan kepada oang lain uang 100 juta atau 150 juta, atau minimal 50 juta untuk beli rumah di pinggiran sidoarjo, kemudian dia mencicilnya selama 10 tahun ke depan atau 15 tahun ke depan ??. Mungkin kita berputar di seluruh Surabaya dan Sidoarjo tidak ada orang yang mau meminjamkan uang seperti itu. Metode jual beli dengan cara seperti ini adaah salah satu solusi terbaik dalam masalah ini.

Boleh saja Bank menggunakan istilah “bunga”, tetapi kaum muslimin dalam bertransaksi harus menggunakan istilah jual beli dengan membayar sekian rupiah selama sekian tahun. 

Adapun pertanyaan yang ketiga : bagaimana hukum jual beli kepemilikan dalam bisnis usaha? misal saya punya saham/investasi/bagian kepemilikan di PT X senilai 100 juta kemudian hak kepemilikan saya tersebut saya alihkan ke orang lain dengan dibeli seharga 150 juta karena PT X tersbeut maju pesat sehingga prospek kedepannya karena itu saya jual lebih mahal dari nilai sebenarnya, apa boleh itu ?

 

Jawab :

Sepanjang pengetahuan saya, bahwa saham dalam istilah syar’inya dimasukan ke dalam kategori syarikah, dimana semua pemilik saham bersama dengan pemilik pabrik yang sebenarnya bersama-sama mengumpulkan harta untuk kemudian digunakan berbisnis di bidang tertetu. Nah karena termasuk kategroi syarikat, maka berlakulah hukum-hukum syarikat di bidang ini.

Jadi seluruh pemegang saham memiliki aset fisik (yang besifat benda) terhadap jenis syarikat yang sudah disepakati sejak awal. Jika jenis syarikat itu berupa pabrik, maka pemilik saham juga memiliki aset fisik pabrik itu. Karena transaksi jenis ini termasuk syarikat, maka untung dan rugi ditanggung bersama. Jika perusahaan untung, maka kenikmatannya bisa dinikmati bersama. Kalau di bidang saham, dengan besarnya nilai bagi hasil yang diterima. Tetapi kalau rugi, ya ditanggung bersama, tidak hanya ditimpakan kepada pemilik perusahaan saja. Itulah syarikah.

Jika ada salah satu dari pemilik saham yang berniat menjual asetnya, maka di sini berlaku hukum syuf’ah, dimana anggota pemilik saham itu adalah orang yang paling berhak untuk membeli saham dari pemilik saham yang hendak menjual sahamnya tersebut. Ini sama dengan jika sebuah komputer dimiliki bersama oleh dua orang sahabat dengan bagian masing-masing separoh atau yang pertama bagiannya seperempat dan yang tiga perempat bagian orang yang kedua, kemudian salah satu pihak ingin menjual aset yang dimiliki, maka sahabatnya tadi adalah orang yang paling berhak untuk membeli aset tersebut, sesuai dengan nilai kepemilikannya. Demikian juga dalam kepemilikan saham di sini. Ini untuk menjaga masuknya orang yang tidak diinginkan ke dalam lingkungan yang kemudian akan merusak lingkungan yang ada. Ini juga sama dengan jika ada seorang yang tinggal di perkampungan muslim, kemudian dia hendak menjual rumanya, kemudian datang orang selain muslim yang ingin membeli rumah tersebut, maka masyarakat berhak untuk menolak pembeli itu.

Nah karena kepemilikannya terhadap perusahaan adalah bersifat kepemilikan fisik, maka jika dia hendak menjual sahamnya, maka dia boleh menjual sesuai dengan nilai fisik yang ada pada waktu itu, baik jika terjadi peningkatan atau terjadi penurunan.

Ilutstrasi jelasnya demikian.

Jika ada perusahaan yang go public, dengan modal 1 milyar, kemudian misalnya ada sepuluh pembei saham dengan perincian sebagai berikut :

A memiliki saham 200 juta

B memiliki saham 50 juta

C memiliki saham 50 juta

Dan yang lainnya memiliki saham 100 juta semua. Kemudian terkumpullah seluruh modal 2 milyar. 1 milyar dari pemilik dan pengelola pabrik dan 1 milyar yang lain dari para pemilik saham. Jadi kepemilikan pengelola terhadap perusahaan ini adalah 50 %, kepemilikan A adalah 10 %, kepemilikan B adalah 5 %, demikian seterusnya. Jika dia hendak menjual sahamnya kepada orang lain, maka :

  1. harus sepengetahuan dan sepersetujuan semua pemilik saham yang lain, dengan prinsip syuf’ah
  2. dia boleh menjual dengan nilai kepemilikan sahamnya yang berlaku pada saat itu, baik naik atau turun.

Karena mu’amalah model ini bersifat syarikat, maka masing-masing pihak boleh membatalkan transaksinya kapan saja dia mau.

Pembicaraan tentang hal-hal seperti ini sudah sejak dahulu kala dibicarakan oleh ekonom-ekonom muslim sejak dahulu dan tertulis dengan detail dan rinci lengkap dengan contoh-contoh permasalahananya, sejak masa Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan lain-lain, sejak abad kedua hijriah. Fiqih Islam memang kaya dan Islam adalah solusi atas semua permasalahan dunia. Maka kembalilah kepada Islam, selamatlah anda.

Ini jika pemilik saham benar-benar memiliki kepemilikan aset terhadap perusahaan yang ada. Tetapi jika dia menujual chek 150 juta dengan harga 200 juta atau dengan harga 100 juta, maka itu adalah termasuk riba.

Sekian, semoga bermanfaat. Dan terima kasih atas pertanyaannya.

6 Tanggapan to “JUAL BELI DENGAN DUA HARGA = RIBA ?”

  1. Om Shani said

    Berarti sistem kredit juga haram ya Mas? trus berarti hampir semua perusahaan memiliki hutang kredit dengan Bank atau setidaknya punya sangkut paut dengan Bank yang memberikan Bunga Kredit kepada Kreditur……..kecuali Bank Syariah hampir semua perusahaan itu memiliki tabungan ganda baik itu syariah maupun konfensional bagaimana dengan hubungan antara pekerja yang menerima uang ‘riba’ dan semua aktivitas yang dilakukan perusahaan ‘riba’ itu.

    Bukankah semua hasil riba adalah haram, lalu bagaimana kita memastikan harta kita bersih dari harta riba secara sempurna

  2. fauzi said

    Coba dibaca sekali lagi jawaban saya forum tanya jawab ini. Bisa jadi anda salah paham. Saya tidak mengatakan demikian. Tetapi jual beli yang dilakukan lewat bank harus jelas sejak semula, apakah dengan cash atau dengan kredit. Jika cash berapa harganya dan jika kredit, berapa cicilannya. Jadi ketika tanda tangan kontrak jual beli, semuanya harus jelas. Bank boleh saja memberi nama bunga, tetapi kita menamainya sebagai jual beli dengan kredit dengan harga tertentu. Ini terkecuali pendapat dari Al Albani yang menyatakan bahwa semua jual beli dengan kredit adalah riba. Tetapi pendapat ini tidak disetujui oleh kebanyakan Ulama. Bisa jadi hanya beliaulah yang berpendapat seperti itu. Bukankah sejak masa Rasulullah dikenal istilah budak mukatab, yaitu budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya jika mampu membayar sekian dengan cicilan dalam masa sekian, maka dia dibebaskan. Dan hukum ini berlaku secara luas pada masa Rasulullah. Contoh sahabat yang memerdekakan diri dengan cara ini adalah Salman Al Farisi. Dan ini adalah salah satu bentuk jual beli dengan cicilan alias kredit. Terima kasih atas pertanyaan dan komentarnya

  3. M. Subagyo said

    Assalaamu’alaikum

    Ustadz Fauzi saya numpang berpendapat semoga bisa menambah lagi wawasan kita terhadap jual beli dengan dua harga.
    Dalam sistem perekonomian kita kenal dengan istilah inflasi dan deflasi dan banyak lagi istilah lainnya. Kaitannya dengan “Inflasi” dalam hal ini jual beli dengan dua harga pada waktu yang berbeda adalah justru menjadi suatu keuntungan bagi pembeli.
    Contoh : Saya membeli rumah dengan kredit senilai 36 juta sejak sepuluh tahun yang lalu dan baru lunas. Namun saat ini saya ingin membeli dengan type yang sama harganya sudah tiga kali lipat. Secara tidak langsung, saya telah diuntungkan dari segi harga, karena jika saya menabung selama sepuluh tahun saya baru bisa membelinya dan belum sempat menikmatinya. Nah inilah salah satu keuntungan atau maslahat dari jual beli secara kredit.

  4. fauzi said

    Wa’alaikum salam.
    Untuk Mas Subagyo saya ucapkan erima kasih atas masukan dan komentarnya. Apa yang mas sampaikan benar adanya. Dan saya sekedar menambahi bahwa mereka yang mengharamkan jua beli dengan cara ini adalah karena jual beli ini justru mengakibatkan inflasi tidak terkendali. Penjelasannya demikian.
    Seseorang yang membeli barang dengan harga cashnya 50 jt, dan dengan kredit 75 jt selama 5 tahun, maka berarti di sana ada kelebihan 25 juta dari harga aslinya. Nah selisih 25 jt itu di dapat dari mana ? Tentu saja negara harus mencetak uang lagi sebanyak selisih harga itu. Inilah yang kemudian menyebabkan inflasi, karena barang tetap dan uang bertambah Jadilah nilai uang menjadi lebih rendah. Inilah salah satu rahasia mengapa rba itu diharamkan.
    Tetapi yang benar adalah seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Jazakallah.

  5. iqhel said

    ass,..ustas saya mau bertnya,.
    dalam jual beli dua harga apakah yang membedakan pendapat dari imam syafi’i dan imam malik dalam menentukan hukumnya, kemudian apa dasar hukum apa yang beliau pakai mgkin smacam ayat atau hadis dan apa contohnya?terima kasih,..

  6. Aziez said

    Sekedar masukan buat admin. setelah mengutip dalil hadits atau Quran sebaiknya dikutipkan pendapat para ulama level mujtahid tentang penafsiran mereka dalma masalah ini. Jangan ditafsirkan sendiri. Jangan sampai masuk dalam hadits: ” … mereka ditanya lalu mereka menjawab tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan…” (حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا . رواه البخاري
    ) Nauzubillah. Peace .. 🙂

Tinggalkan komentar