Samudra Ilmu Agama Islam

Islam Rahmatan Lil 'Alamin

PELAJARAN KETIGA – MUSTHOLAH HADITS

Posted by Administrator pada 31 Maret 2009

HADITS DITOLAK KARENA SANADNYA TERPUTUS

Pada pelajaran ini kita akan mempelajari hadits-hadits dla’if (hadits yang ditolak kehujjahannya) yang disebabkan karena adanya sanad yang terputus di dalamnya. Ini kita bagi menjadi dua, yaitu yang keterputusannya itu jelas dan yang keterputusannya itu sama. Yang keterputusannya jelas dibagi menjadi empat, yaitu hadits munqothi’, hadits mu’adlol, hadits mursal dan hadits mu’allaq. Dan yang keterptusannya samar itu dibagi menjadi dua, yaitu hadits mdallas dan mursal khofi (yang samar). Kita akan membahasnya satu per satu dengan contohnya masing-masing.

 

A.     KETERPUTUSAN YANG JELAS

1.      HADITS MUNQOTHI’

a.       Definisinya

1)       Menurut Bahasa

Yaitu bentuk isim fa’il dari kata الانْقِطَاع . Dikatakan اِنْقَطَعَ الْحَبْلُ يَنْقَطِعُ انْقِطَاعاً فَهُوَ مُنْقَطِعٌ  maksudnya adalah jika tali itu tidak bersambung.

 

2)       Menurut istilah

Ada empat buat pendapat, yaitu :

a)      Yaitu hadits yang sanadnya terputus satu rawi atau lebih sebelum sahabat, tidak secara berurutan. Ini adalah pendapat kebanyakan ahli hadits dan inilah pendapat yang benar.

b)      Yaitu setiap hadits yang sanadnya tidak bersambung. Ini adalah pendapat para ahli fiqih dan ilmu ushul fiqih serta beberapa kelompok ahli hadits, diantaranya adalah Al Khothib Al baghdadi dan Ibnu Abdil Barr.

c)      Yaitu riwayat yang disandarkan kepada tabi’in dan generasi sesudahnya, baik berupa perkataan atau perbuatannya. Ini adalah pendapat Al Bardaiji. Ibnush Sholah berkata : “Pendapat ini adalah aneh dan jauh dari kebenaran”.

d)      Yaitu perkataan seorang laki-laki dengan tanpa sanad bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata demikian. Ini adalah Pendapat Al Kayya Al Harrasy. Ibnush Sholah berkata : “Tidak ada orang lain selainnya yang berpendapat demikian”.

 

b.      Contohnya

Hadits :  إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِه   “Sesungguhnya diantara kesempurnaan keimanan seseorang adalah yang paling baik akhlaknya dan yang paling lemah lembut kepada keluarganya”. (Ahmad dan Hakim dari jalur Abu Qilabah dari Aisyah secara marfu’. Dan sanadnya adalah munqothi’ karena Abu Qilabah tidak mendengar dari Aisyah).

 

c.       bagaiamanakah keterputusan sanad itu diketahui

Diketahui dengan tidak adanya pertemuan antara perawi dan orang yang diriwayatkan darinya, baik karena dia tidak semasa dengannya atau semasa dengannya, tetapi keduanya tidak pernah bertemu. Yang menegaskan hal ini adalah mengtahui kelahiran-kelahiran dan kematian-kematian para perawi.

 

d.      hukumnya

Hadits ini ditolak karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang terbuang dari sanad itu.

 

2.      HADITS MU’ADLOL

a.       Definisinya

1)       Menurut bahasa

Yaitu bentuk isim maf’ul dari إعْضَال  diaktakan أعْضَلَهُ الأمْرُ يُعْضِلُهُ إعْضَالاً فَهُوَ مُعَضَّلٌ  maknanya adalah menyulitkannya. Dan dikatakan : أعْضَلَ الأمْرُ  maknanya adalah menjadi keras dan sulit. Dan dikatakan : أعْضَلَنِيْ فُلانٌ  maknanya adalah urusan seseorang itu menyuliskan saya.

 

2)       Menurut istilah

Yaitu hadits yang sanadnya terputus dua orang perawi atau lebih secara beruntun.

 

b.      Contohnya

Perkataan Imam Malik : “Telah sampai berita kepadaku dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Seorang budak itu berhak mendapatkan makanannya dan pakaiannya dengan cara yang makruf dan dia tidak dibebani pekerjaan kecuali yang dia mampui”. Sanadnya adalah mu’adlol. Karena Imam Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah melalui perantara dua orang perawi. Dan keduanya tidak disebutkan di dalam riwayat itu”.

 

c.       Hukumnya

Ini termasuk ditolak karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang tidak disebutkan dalam sanad itu.

 

3.      HADITS MURSAL

a.       Definisinya

1)       Menurut Bahasa

Yaitu merupakan bentuk isim maf’ul dari kata أرْسَلَ الشَّيْءَ يُرْسِلُهُ إرْسَلاً  maknanya adalah dia memutlakkannya dan tidak memberikan batasan.

 

2)       Menurut istilah

Ada empat pendapat, yaitu :

a)      Yaitu riwayat tabi’in secara mutlak langsung dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah pendapat kebanyakan para ahli hadits, diantaranya adalah Hakim, Ibnu Sholah, Ibnu Hajar dan yang lainnya dan inilah pendapat yang benar.

b)      Yaitu irwayat tabi’in senior dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

c)      Yaitu yang terputus sanadnya ditempat yang manapun dari suatu sanad. Ini adalah pendapat para ahli fiqih dan Ushul Fiqih serta eberapa kelompok ahli hadits, diantaranya adalah Al Khothib Al Baghdadi, Abul Hasan bin Al Qothon dan An Nawawi.

d)      Yaitu hadits yang sahabat dibuang di dalam sanadnya. Ini adalah pendapat Al baiquni. Pendapat ini dikritik.

 

b.      Contohnya

Ibnu Sa’ad berkata di dalam Kitab Ath Thobaqot : “Waki’ bin Al Jarrah memberikan berita kepada kami, A’masy memberikan berita kepada kami dari Abu Sholih bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai para manusia, sesungguhnya saya adalah rahmat yang memberikan petunjuk”. Abu Sholih As Simani adalah seorang tabi’in.

 

c.       Kehujjahannya

Para ulama berselisih menjadi tiga buah pendapat, yaitu :

1)       Dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Ini dibatasi jika seorang tabi’in itu tidak meriwayatkan kecuali hanya dari perawi yang tsiqoh saja. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya, pendapat Imam Malik dan para pengikutnya serta merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

2)       Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama hadits, diantaranya adalah Muslim bin Al Hajjaj, Abu Hatim, Hakim, Ibnu Sholah, Nawawi dan Ibnu Hajar.

3)       Dapat dijadikan sebagai hujjah jika memenuhi slah satu dari tiga buah kriteria, yaitu :

a)      Jika ada yang lainnya yang menyebutkan sanadnya atau ada riwayat lain yang mursal, sedangkan guru keduanya adalah rawi yang shahih.

b)      Jika dikuatkan oleh pendapat dari seorang sahabat.

c)      Jika dikenal bahwa dia tidak menyebutkan riwayat mursal, kecuali dari orang-orang yang adil. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i.

 

d.      Mursal sahabat

1)       Yaitu riwayat seorang sahabat dari seseorang yang tidak diketemuinya atau dia tidak hadir di sana.

2)       Contohnya adalah perkataan Aisyah : “Sesungguhnya wahyu pertama yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berupa mimpi yang baik”. (Bukhari dan Muslim).

3)       Apakah riwayat ini dapat dijadikan sebagai hujjah ? Ada dua buah pendapat :

a)      Dapat dijadikan sebagai hujjah, karena semua sahabat adalah adil. Ini adalah pendapat kebanyakan para ahli hadits dan inilah pendapat yang benar.

b)      Tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali jika dikenal bahwa dia tidak meriwyatkan kecuali hanya dari sahabat yang lain. Ini adalah pendapat beberapa kelompok ahli Ilmu Ushul Fiqih, seperti Abu Ishaq Al Isfarayini.

 

4.      HADITS MU’ALLAQ

a.       Definisinya

1)       Menurut bahasa

Yaitu bentuk isim maf’ul dari kata التَّعْلِيْقُ  . Dikatakan : عَلَّقَ الشَّيْء بِالِشَّيْءِ يُعَلِّقُهُ تَعْلِيْقًافَهُوَ مُعَلَّقٌ  maknanya adalah mengikatnya dengan sesuatu dan menjadikannya tergentung. Sanad ini disebut sebagai mu’allaq karena hanya tersambung dengan bagian atas saja dan terputus dari sisi bawahnya, maka jadilah dia seperti sesuatu yang tergantung di atas langit-langit atau yang semisalnya.

 

2)       Menurut istilah

Yaitu hadits yang dibuang dari awal sanad seorang rawi atau lebih secara berurutan.

 

b.      Contohnya

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Majisyun dari Abdullah Al Fadl dari Abu hurairah secara marfu’ : “Janganlah kalian membanding-bandingkan (untuk melebihkan) diantara para nabi”.

 

c.       Bentuk-bentuknya

1)       Jika semua sanadnya dibuang

2)       Jika semua sanadnya dibuang kecuali hanya sahabat.

3)       Jika semua sanadnya dibuang kecuali hanya sahabat dan tabi’in.

4)       Jika orang yang menceritakan hadits itu saja yang dibuang.

 

d.      Hukumnya

Ini termasuk diantara hadits yang ditolak karena sanadnya tidak bersambung dan karena ketidak tahuan terhadap keadaan rawi yang dibuang dari sanad itu. Tetapi kadang-kdang hadits itu dapat diterima jika memiliki jalur-jalur periwayatan yang lain yang di dalamnya dia menyebutkan rawi yang dibuang itu dan dia adalah seorang yang tsiqoh atau seseorang yang sangat jujur.

 

e.       Hadits-hadits mu’allaq dalam shohih Bukhari

1)       Jumlahnya adalah 1341 hadits

2)       Macam-macamnya

a)      Hadits yang mu’llaq yang disambungkan pada tempat yang lain.

b)      Yang hanya ditemukan secara mu’allaq saja dan tidak disambungkan pada tempat yang lain di dalam kitabnya. Kadang-kdang dia menyebutkannya dengan bentuk tegas dan kadang-kadang dengan bentuk menyatakan kelemahannya (tamridl).

i.         Jika disebutkan dengan kalimat yang tegas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits itu adalah shahih sesuai dengan syaratnya atau shahih sesuai dengan syarat orang lain atau hasan.

ii.       Jika disebutkan dalam bentuk tamridl, maka dapat disimpulkan bahwa hadits itu adalah shahih sesuai dengan syaratnya atau shahih sesuai dengan syarat orang lain atau hasan atau dla’if.

 

f.        Hadits-hadits mu’allaq dalam shohih Muslim

Jumlahnya hanya dua belas saja.

 

B.     KETERPUTUSAN YANG SAMAR

Bagian ini ada dua macam, yaitu :

1.      Mudallas

a.       Definisinya

1)       Menurut bahasa

Merupakan bentuk  isim maf’ul dari kata تَدْلِيْس . Dikatakan : دَلَّسَ يُدَلِّسُ تَدْلِيْسًا فَهُوَ مُدَلِّسٌ وَمُدَلَّسٌ  maknanya adalah menyembunyikan aib barang dagangan dari padangan pembeli. Adakr katanya diambil dari kata الدَّلْسً  yaitu bercampurnya kegelapan. Dan التَّدَلُّسُ  maknanya adalah menyembuyikan.

 

2)       Menurut istilah ada dua macam pengetian, yaitu :

a)      Tadlis sanad

i.      Definisinya

Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan dari seseorang yang dia pernah betemu dengannya yang tidak pernah mendegarkan langsung darinya, untuk mngisyaratkan seolah-olah dia mendengar darinya.

 

ii.     Hukum riwayat dari orang yang dikenal dengan tadlis ini

Para ulama berselisih menjadi lima buah pendapat :

Ø      Menolaknya secara mutlak, baik mereka itu menjelaskan mendengar darinya atau tidak menjelaskan. Ini adalah pendapat beberapa ulama Madzhab Maliki.

Ø      Menerimanya secara mutlak, baik mereka menjelaskan mendengarkannya darinya atau tidak menjelaskanya. Pendapat ini diceritakan oleh Al Khothib di dalam Kitab Al Kifayah dari beberapa ulama.

Ø      Jika dia tidak melakukan tadlis kecuali dari orang-orang yang tsiqoh, maka tadlisnya diterima. Dan jika tidak, maka tidak diterima. Ini adalah pendapat Al bazar, Al Azdi, Ash Shoirofi, Ibnu Hibban dan Ibnu Abdil Barr.

Ø      Jika tadlis darinya itu sedikit, maka riwayatnya diterima. Dan jika banyak, maka tidak diterima. Ini adalah pendapat Ali bin Al Madini.

Ø      Diterima riwayatnya jika dia adalah seorang yang tsiqoh dan dia menegaskan telah mendengarkan darinya. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama ahli hadits. Dan inilah pendapat yang benar.

 

iii.   Para rawi yang dikenal melakukan tadlis seperti ini

Jumlah mereka adalah banyak, seperti Muhammad bin Ishaq, Ibnu Juraij, Qotadah dan lain-lain.

 

b)      Tadlis Syuyukh (para guru)

i.     Definisinya

Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang guru (syeikh), kemudian dia menyebutkan namanya, atau kunyah atau nisbatnya atau menyebutkan sifatnya dengan sifat yang tidak dikenal agar dia tidak diketahui.

 

ii.    Contohnya

Athiyah bin Sa’ad Al ‘Aufi.

Sesungguhnya dia belajar kepada Abu Sa’id Al Khudri dan meriwayatkan darinya. Ketika Abuy Sa’id Al Khudri telah wafat, maka dia belajar kepada Al kalbi, yang dituduh berbohong. Ketika dia meriwayatkan darinya, maka dia berkata : “Abu Sa’id telah bercerita kepadaku”. Maka orang-orang yang mendengar akan menyangka bahwa maksudnya adalah Abu Sa’id Al khudri, tetapi sebenarnya yang dia maksud adalah Al Kalbi.

 

b.      Macam-macam tadlis yang lain yang termasuk kelompok pertama

1)       Tadlis taswiyah (penyamaan)

a)      Bentuknya

Yaitu jika seseorang yang melakukan tadlis itu menyebutkan sebuah hadits yang dia dengarkan dari seorang guru yang tsiqoh, dan guru yang tsiqoh itu mendengarnya dari guru yang dlo’if yang dia dengarkan dari guru yang tsiqoh. Maka orang yang melakukan tadlis itu yang mendengar dari guru yang tsiqoh yang pertama itu menghilangkan guru yang dlo’if itu dan menjadikannya langsung dari riwayat guru tsiqoh yang kedua dengan suatu kata yang mengandung beberapa penafsiran muhtamal seperti عَنْ (dari) dan yang semisalnya, sehingga jadilah sanad itu seluruhnya tsiqoh dan dia menegaskan telah mendengarkannya dari gurunya.

 

b)      Contohnya

Hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahaweh dari Baqiyah bahwa dia berkata : “Abu Wahab Al Asadi bercerita kepadaku dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’ : “Janganlah kalian memuji keislaman seseorang sehingga kalian mengetahui pemikirannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidillah dari Ishaq bin Abi farwah dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’ dan kunyah Ubaidillah bin Amru adalah Abu Wahab dari Bani Asad. Maka Baqiyyah menyebutkan kunyahnya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak dikenal, sehingga ketika dia menghilangkan Ishaq bin Farwah di tengah-tengah sanad, maka tidak ada yang mengetahuinya.

 

2)       Tadlis ‘athf  (kata sambung)

Yaitu jika seorang rawi meriwayatkan dari dua orang guru yang mereka berdua mendengarkannya dari seorang guru. Dia mendengar dari salah satu dari keduanya saja. Kemudian dia menegaskan telah mendengar dari guru pertama dan menyebutkan ‘athaf (kata sambung, dan) untuk guru kedua, sehingga disangka bahwa guru itu bercerita kepadanya juga, padahal dia hanya mendengar dari guru pertama saja dan dia bermaksud memutus pendengaran itu. Dia berkata : وَ فُلان  (dan fulan). Maksudnya adalah fulan dan fulan telah bercerita kepada kami.

 

c.       Kitab-kitab yang disusun tentang orang-orang yang melakukan tadlis

1)       At tabyin li asmaa’il mudallisin karya Al Khothib

2)       At tabyin li asmaa’il mudallisin karya Al Burhan Al Halbi

3)       Ta’riifu ahlit taqdiis bi maraatibil maushufiina bit tadlis karya Ibnu Hajar.

 

2.      Mursal Khofi (yang samar)

a.       Defisinya

Yaitu keterputusan dimanapun tempatnya antara dua orang rawi yang satu generasi yang tidak pernah bertemu.

 

b.      Contohnya

Hadits yang diriwayatkan oleh Al Awwam bin Huwaisyib dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa dia berkata : “jika Bilal berkata : “Qad qomatish sholah”, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan bertakbir”. Al Awwam ini tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abi Aufa.

 

c.       Hukumnya

Ini termasuk hadits yang ditolak karena sanadnya tidak bersambung

 

d.      Kitab yang disusun tentangnya

At tafshil li mubhamil marasil karya Al Khothib.

 

Tinggalkan komentar